Wayahe Karanganyar

Mengenal Candi Cetho, Peninggalan Majapahit di Karanganyar

Facebook
WhatsApp
X
Threads
LinkedIn
Gapura CAndi Cetho
source: x.com/shitlicious

Mengenal Candi Tersembunyi

Di kaki Gunung Lawu, terkubur di antara hamparan hijau Karanganyar, berdiri Candi Cetho – sebuah monumen bersejarah yang menyimpan ratusan cerita dari masa kejayaan Majapahit. Candi  Cetho  merupakan  tempat  wisata  sekaligus  tempat  ibadah  umat  hindu dan merupakan salah satu candi tertinggi di Indonesia. Lokasi candi ini terletak di lereng barat gunung lawu dan memiliki ketinggian 1.496 mdpl, tepatnya di  Dusun  Ceto,  Desa  Gumeng,  Kecamatan  Jenawi,  Kabupaten  Karanganyar, Jawa  Tengah. 

Sejarah Candi Cetho

Pelataran Candi Cetho
source: x.com/shitlicious

Untuk memahami Candi Cetho, kita perlu melakukan perjalanan mundur ke masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-13 hingga abad ke-15, Majapahit menjadi imperium maritim terbesar di Nusantara, mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Mahapatih Gajah Mada. Candi Cetho diperkirakan dibangun pada periode akhir Kerajaan Majapahit, tepatnya pada akhir abad ke-15. Periode ini ditandai dengan transformasi besar dalam struktur kekuasaan dan praktik keagamaan. Saat itu, kekuasaan Majapahit mulai melemah akibat berbagai faktor internal dan eksternal.

Pada masa pembangunan Candi Cetho, Kerajaan Majapahit mengalami perubahan signifikan. Pengaruh Islam mulai masuk ke Nusantara, sementara kepercayaan Hindu-Buddha masih kuat di kalangan bangsawan dan masyarakat. Candi Cetho muncul sebagai representasi terakhir dari keagungan arsitektur dan spiritual Hindu di Jawa. Ia menjadi saksi peralihan kekuasaan dari era Hindu menuju era Islam yang kemudian mendominasi Nusantara.

Candi Cetho untuk pertama kalinya ditemukan oleh seorang warga negara belanda bernama Van der Vllis tepatnya pada tahun 1842 dengan jumlah 13 teras. Semenjak ditemukan, Candi Cetho menarik perhatian peneliti dan ahli kepurbakalaan yaitu oleh W.F Stutterheim, K.C Crucq dan A.J. Bernet Kempers. Dinas Purbakala Hindia Belanda pada tahun 1928 melakukan penelitian ekskavasi, dan rekontruksi pada candi cetho. Hasil rekontruksi, situs candi cetho merupakan bangunan berteras, undakan teras berada dari barat (paling bawah) ke timur (paling atas) sepanjang kurang lebih 200 meter. Pada tahun 1978 situs candi cetho dipugar namun pemugaran mengubah banyak struktur asli candi tersebut. Undakan teras yang berjumlah 13 sekarang menjadi 9 teras. Hasil pemugaran berupa gapura megah di depan kompleks, bangunan kayu tempat pertapaan, patung yang dinisabkan sebagai sabdopalon, nayagenggong, Brawijaya V, dan Phallus.

Karakteristik Arsitek Candi Cetho

source: x.com/muh_alimaruf

Candi Cetho merupakan masterpiece arsitektur yang menakjubkan, sebuah monumen bersejarah yang mengungkapkan kompleksitas pemikiran arsitektural masyarakat Majapahit melalui desain vertikal yang memukau. Berbeda dengan candi-candi konvensional di Jawa, kompleks ini tersusun dalam sembilan teras yang membentuk struktur piramidal mengesankan, seolah-olah setiap tingkatannya adalah tangga spiritual menuju kesempurnaan kosmologis.Teknik konstruksi candi ini begitu canggih sehingga mampu membuat para ahli arkeologi terkagum-kagum. Menggunakan metode dry stone technique, para pembangun candi memasang batu andesit vulkanik dari Gunung Lawu dengan presisi yang luar biasa, hampir tanpa celah dan tanpa menggunakan perekat modern. Setiap batu disusun sedemikian rupa sehingga mampu bertahan selama ratusan tahun, dengan toleransi pemasangan kurang dari satu milimeter, yang menunjukkan keahlian konstruksi yang jauh melampaui zamannya.

Orientasi geografis Candi Cetho tidak kalah menakjubkan. Terletak pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut, candi ini dengan sengaja diposisikan menghadap Gunung Lawu. Pilihan lokasi ini bukan sekadar kebetulan, melainkan manifestasi filosofis dari konsep spiritual Hindu tentang kesucian gunung dan hubungan mendalam antara manusia, bumi, dan kosmos. Setiap teras dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk perjalanan simbolis dari dunia profan menuju ruang sakral tertinggi.

Arsitektur Candi Cetho memiliki keunikan yang membedakannya dari candi-candi lain di Jawa. Dibandingkan dengan Candi Sukuk misalnya, struktur Cetho jauh lebih vertikal dan kompleks, dengan detail arsitektur yang lebih rumit dan tema spiritual yang lebih dalam. Setiap tingkatan mencerminkan tahapan spiritual manusia, mulai dari level paling bawah yang luas dan terbuka, hingga puncak tertinggi yang sempit dan eksklusif, seolah-olah mendorong peziarah untuk terus mendaki menuju pencerahan.

Konstruksi candi ini menggunakan bahan utama batu andesit dari kawasan Gunung Lawu, dengan warna keabu-abuan yang natural. Pemilihan bahan tidak sembarangan, melainkan didasarkan pada kualitas ketahanan dan makna simbolis. Ruang-ruang kecil di setiap teras yang diduga merupakan area upacara ritual menambah kompleksitas arsitektural, menunjukkan betapa canggihnya perencanaan ruang pada masa itu.

Tantangan preservasi Candi Cetho tidak kalah menariknya. Struktur yang rentan terhadap erosi dan cuaca ekstrem membutuhkan teknik konservasi khusus. Luas area sekitar 500 meter persegi dengan ketinggian mencapai 10-12 meter ini memerlukan perhatian berkelanjutan untuk melestarikan warisan arsitektur yang luar biasa ini. Setiap upaya konservasi bukan sekadar menjaga bangunan fisik, melainkan juga melestarikan kisah spiritual yang terpahat dalam setiap batu.

Relief dan Arca Candi Cetho

Arca dan Relief di Candi Cetho
source: x.com/pacific__stream

Relief dan arca di Candi Cetho menceritakan kisah peradaban dengan detail yang menakjubkan dan kompleksitas artistic yang tak tertandingi. Setiap ukiran, setiap patung adalah jendela yang membuka pemahaman kita tentang dunia spiritual, sosial, dan mitologis masyarakat Majapahit pada akhir abad ke-15.

Pada teras-teras candi, kita disuguhkan dengan relief yang tersusun dalam narasi visual yang memukau, menggambarkan berbagai adegan kehidupan dan kepercayaan. Tema-tema yang dominan meliputi kisah-kisah mitologi Hindu, dengan fokus khusus pada epos Ramayana dan Mahabharata. Para pemahat telah mmenciptakan adegan-adegan epik seperti pertempuran Krishna, pengembaraan Rama, dan momen-momen kunci dari kedua epos legendaris tersebut dengan ketelitian yang mengagumkan.

Teknik ukiran relief menunjukkan kecanggihan seni pahat masa itu. Para seniman telah menggunakan teknik relief rendah (bas-relief) yang memungkinkan detail kompleks dapat dihadirkan dalam ruang terbatas. Garis-garis ukiran sangat halus, hampir seperti lukisan yang terpahat dalam batu, menggambarkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan nuansa emosional. Setiap relief seolah bernapas, menceritakan kisah yang tak terbatas oleh waktu. Salah satu detail paling menarik adalah representasi kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit. Relief menggambarkan aktivitas pertanian, perdagangan, upacara keagamaan, dan interaksi sosial dengan detail antropologis yang kaya. Pakaian, perhiasan, senjata, dan alat-alat yang diukir memberikan gambaran mendalam tentang budaya material masyarakat pada masa itu.

Arca-arca yang tersebar di kompleks candi tidak kalah menakjubkannya. Mayoritas arca merupakan representasi dewa-dewi Hindu, dengan fokus khusus pada Siwa, Wisnu, dan manifestasi mereka. Setiap arca dikerjakan dengan presisi anatomis yang cantik, menunjukkan pemahaman mendalam tentang proporsi tubuh manusia dan konsep estetika spiritual.Menariknya, beberapa arca menunjukkan sinkretisme budaya yang unik. Meskipun dominan dengan elemen Hindu, terdapat sentuhan-sentuhan budaya lokal yang memperlihatkan proses adaptasi kepercayaan asing ke dalam konteks Nusantara. Ekspresi wajah, detail pakaian, dan sikap tubuh arca mencerminkan perpaduan antara mitologi India dan tradisi setempat. Simbolisme dalam relief dan arca Candi Cetho sangatlah kompleks. Setiap elemen memiliki makna filosofis yang mendalam. Posisi tangan (mudra) pada arca, arah pandangan, atribut yang dibawa, semuanya memiliki signifikansi spiritual. Misalnya, arca Siwa dalam sikap Nataraja melambangkan konsep penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran alam semesta – sebuah filosofi kosmologis yang rumit.

Kesimpulan

Candi Cetho bukan sekadar monumen batu tua. Ia adalah kisah hidup yang terpahat, saksi bisu perjalanan peradaban Majapahit yang masih berbisik di lereng Gunung Lawu. Setiap batu, setiap relief mengundang kita untuk menelusuri jejak spiritual leluhur.

Di tengah derasnya arus modernisasi, candi ini masih berdiri tegak. Ia mengingatkan kita akan keagungan nenek moyang yang mampu menciptakan keajaiban arsitektur dan membangun kompleksitas spiritual dalam batu. Bagaimana, tertarik menjelajahi Candi Cetho?

Untuk informasi lebih lanjut mengenai destinasi wisata Karanganyar, Kamu bisa cek akun instagram @wayahe.karanganyar . Semua tentang Karanganyar ada disana!

 

1 thought on “Mengenal Candi Cetho, Peninggalan Majapahit di Karanganyar”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Postingan populer

Scroll to Top